Sudah lumayan lama, saya pengin baca novel yang setting-nya di pesantren. Kangen vibes saat membaca “Negeri 5 Menara”. Alhamdulillah, kini sudah terturuti berkat novel “The Haze Inside” karya Aiu Ahra terbitan Penerbit Republika ini. Selain vibes positif yang disajikan, novel ini membangkitkan kenangan remaja saya. Bagi teman-teman yang masih remaja, yang sedang mempersiapkan langkah setelah lulus SMA/pesantren, bakalan relate banget sama kisah Rigel dan kawan-kawannya ini. 😍

Blurb:
Lulusan pesantren kerap dianggap akan menjadi ustadz ketika lulus kelak. Tapi, Rigel tidak mau menjadi seperti itu. Mimpinya justru berada di tempat lain, tapi masalahnya, ia bahkan belum tahu cita-citanya. Padahal ia sudah pernah janji pada Mei, kawan perempuannya di SMP, untuk bertemu di satu kota dan berjuang mewujudkan mimpi sama-sama. Tapi kini, ia sendiri malah bimbang.
Orang yang punya tujuan bisa berhasil ataupun gagal juga tergantung pilihannya, apakah dia mau berjuang atau menyerah, atau dia memang ditakdirkan Allah untuk nggak dapat apa yang jadi tujuannya.
Rigel kini berada di persimpangan jalan. Sebentar lagi ia akan lulus dari pesantren, namun ia tak tahu, hal apa yang harus ia lakukan setelah masa wajib belajar sembilan tahunnya usai? Haruskah ia bekerja? Atau lanjut ke universitas? Tapi jurusan apa? Apa profesi yang ingin ia lakukan? Buntu. Rigel tak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu.
Di sisi lain, Ghazi, sahabatnya sejak SMP terlihat menjauh darinya sejak insiden yang membuatnya dihukum keras oleh pondok. Demi persahabatan, Rigel ingin membantu, tapi Ghazi sangat tertutup tentang masalahnya sendiri. Hingga satu peristiwa akhirnya membuat Rigel dan tiga kawannya terseret jauh dan membuat mereka terancam dikeluarkan dengan tidak hormat: Membuat orangtua kecewa, dan menghancurkan masa depan mereka.
Jadi, selama membaca ini, saya seperti berkaca pada masa lalu. Ada bagian-bagian dari apa yang dialami beberapa tokohnya yang pernah saya alami, meski nggak sama persis kasusnya. Saya jadi membayangkan, andai saya membaca novel ini waktu SMA dulu, manfaatnya bakalan lebih terasa karena kegalauan saya dulu mirip-mirip dengan kegalauan Rigel dkk. Namun, terlepas dari itu semua, banyak sekali hal-hal positif yang sudah saya tahu, tapi kadang terlupakan. Jadi, meskipun saat membacanya saya sudah bukan remaja lagi, masih banyak banget pelajaran yang bisa saya ambil.
Sebagian besar buku ini bercerita tentang:
• Kehidupan pesantren modern yang vibes-nya positif banget. Mulai dari qiyamul lail (yang berat bagi sebagian santri, tapi mereka mengusahakan untuk bangun; juga cara mereka membangunkan temannya yang kadang terasa lucu), antre kamar mandi, muroja’ah hafalan, setoran hafalan, belajar bersama, dll. Semangat belajar mereka memberikan perasaan bersemangat juga bagi saya selaku pembacanya. Bahkan, kemampuan tokoh bernama Ajis yang di bawah tiga kawannya pun patut dihargai karena tetap berusaha mengimbangi meskipun kerap gagal.
Meski begitu, di sana kadang ada perundungan juga. Dan di sinilah Rigel dkk memperjuangkan keadilan atas hal ini. Seru dan bikin ikut geregetan.
• Persahabatan Rigel, Ghazi (Goji), Umar, dan Aziz (Ajis). Empat orang dengan karakter berbeda dan unik, yang sebagian terlihat cuek, tapi saling peduli. Banyak momen hangat dan bikin senyumnya. Juga kelebihan dan kekurangan masing-masing yang membuat cerita lebih berwarna.
Dari keempat orang sahabat ini, saya paling suka karakter Ghazi. Dia rajin membaca, simpel alias nggak mau repot, bicara seperlunya tapi sekali bicara langsung makjleb dan kadang masa bodo, dan pandai menyimpan rahasia yang membuat novel ini menghadirkan suatu misteri dari awal hingga pertengahan novel. Saya suka banget bagaimana interaksi Ghazi yang minim ekspresi ini dengan teman-temannya. Sering terlihat menyebalkan tapi lucu.
• Kegalauan tentang masa depan setelah lulus pesantren, terkait dengan situasi dan kondisi mereka yang membuat bimbang dan dilema. Jadi, bagi teman-teman yang masih remaja, insyaallah bakalan relate banget sama hal ini.
Keempat kawan ini mempunyai latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda, baik dari segi kepintaran, finansial, dsb. Di sinilah saya bisa melihat beberapa gambaran yang membuat mereka mengalami kegalauannya masing-masing terhadap masa depan, terutama apa yang akan dipersiapkan dan dilakukan selepas mereka lulus dari pondok.
Ketiga hal ini berpadu menjalin keutuhan cerita yang memberikan banyak hikmah, bahkan pada orang yang sudah bukan remaja lagi seperti saya. Setting-nya di pesantren di Sumut juga terasa banget berkat dialog-dialog yang memakai logat sana. Bagi saya yang nggak mempunyai kawan asli daerah Sumatera yang bisa diajak berdialog lisan langsung, kadang dialog mereka (paling banyak Ajis dan Goji) terasa aneh tapi bisa dipahami. Kalau Rigel dan Umar sih, ngomongnya kebanyakan pakai bahasa Indonesia biasa.

Novel ini juga dilengkapi ilustrasi-ilustrasi kece di tiap babnya. Hanya saja, saya malah kurang suka ilustrasi sampul dan beberapa ilustrasi di dalamnya. Bukan jelek ya, tapi karena empat orang di sana nggak ada yang gemuk (yang menggambarkan Ajis). Jadi seperti itu mereka tapi bukan mereka. 😅
3.75/5⭐


